Translate

Jumat, 30 November 2012

Makna “Muhammad Rasululloh”



Seorang Muslim sudah seharusnya mengetahui, memahami dan mengamalkan hal-hal yang paling mendasar dalam Syariat Islam ini, sebelum melangkah lebih jauh. Salah satunya yang harus kita ketahui adalah Makna “Muhammad Rasululloh”, sehingga setelah kita memahaminya kita dapat mengamalkan dan tidak melangkah ke arah yang tidak benar dan samar.

"Muhammad Rasululloh" bermakna beriman bahwasanya Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam sebagai utusan Alloh, adalah membenarkan apa yang dikabarkannya, menta’ati apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang dilarang dan diperingat-kan darinya, serta kita menyembah Allah dengan apa yang disyari’atkannya.
Syaikh Abul Hasan An-Nadwy herkata dalam buku “An-Nubuwwah” sebagai berikut, “Para nabi, dakwah pertama dan tujuan terbesar mereka di setiap masa adalah meluruskan aqidah (keyakinan) terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Meluruskan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mengajak memurnikan agama ini untuk Alloh dan hanya beribadah kepada Alloh semata. Sesungguhnya Dia (Alloh) Dzat yang memberikan manfa’at. Yang mendatangkan mudharat. Yang berhak menerima ibadah, do’a, penyandaran diri (iltija’) dan sembelihan. Dahulu, dakwah para nabi diarahkan kepada orang-orang yang menyembah berhala, yang secara terang-terangan menyembah berhala-berhala, patung-patung dan orang-orang shalih yang dikultuskan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: ”Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Alloh. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (QS: Al-A’raaf: 188)

Dan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Janganlah kalian berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba Allah maka Katakanlah: ‘Hamba Allah dan RasulNya’.” (HR: Al-Bukhari)

Makna "Al-Itharuuan" ialah berlebih-lebihan dalam memuji (menyanjung). Kita tidak menyembah kepada Muhammad, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus dalam kesyirikan. Dan Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita untuk mengatakan: "Muhammad hamba Alloh dan RasulNya."

Sesungguhnya kecintaan kepada Rasul Shallallahu’alaihi wa Sallam adalah berupa keta’atan kepadaNya, yang diekspresikan dalam bentuk berdo’a (memohon) kepada Alloh semata dan tidak berdo’a kepada selainNya, meskipun ia seorang rasul atau wali yang dekat (di sisi Alloh).

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: "Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Alloh dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan dari Alloh." (HR: At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

Dan apabila Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam dirundung duka cita, maka beliau membaca: "Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan." (HR: At-Tirmidzi, hadits hasan)

"Ya Alloh, aku memintaMu untuk menghilangkan kesusahan kami. Dan kesusahan ini, tiada yang bisa menghapusnya kecuali Engkau, ya Alloh"

dari rujukan kitab Al Firqotun Naajiyah, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu

MAJELIS DZIKIR


Majelis Dzikir sangat dianjurkankan dan disenangai oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW : “Dari Abdurrahman ibnu Sahl Ibnu Hanif, ia berkata : ’Pada suatu saat, ketika Rasulullah SAW berada disalah satu rumahnya, turunlah ayat kepada beliau, yang artinya : Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhanmu pada pagi dan petang dengan mengharap keridoan-Nya (Q.S. Al-Kahfi : 28).
Maka setelah menerima wahyu itu, Rasulullah SAW keluar mencari orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Kemudian beliau menjumpai sekelompok orang yang sedang sibuk berdzikir. Diantara mereka ada yang rambutnya tidak teratur dan kulitnya kering, dan ada yang hanya memakai sehelai kain. Ketika Rasulullah melihat mereka, beliaupun duduk bersama mereka dan berkata : Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan di antara umatku orang-orang yang menyebabkan aku diperintahkan duduk bersama mereka “.(H.R. Thabrani, Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih).

Diriwayatkan dalam hadits lain : “Dari Tsabit ia berkata : ‘Ketika sahabat Salman Al-Farisi beserta kawan-kawannya sedang sibuk berdzikir, lewatlah Rasulullah SAW dihadapan mereka. Maka mereka terdiam sebentar. Lalu beliau bertanya : Apa yang sedang kalian lakukan ? Mereka menjawab : Kami sedang berdzikir. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Sungguh aku melihat rahmat Allah turun di atas kalian, maka hatiku tertarik untuk bergabung bersama kalian untuk berdzikir. Kemudian beliau bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan dari umatku orang-orang yang aku diperintahkan duduk bersama mereka “. (H.R. Ahmad)

Dari dua hadits tersebut di atas jelaslah majelis dzikir sangat disukai oleh Allah SWT sehingga Rasulullah SAW diperintahkan untuk duduk bersama mereka (tentunya bersama-sama untuk berdzikir kepada Allah SWT).

Di bawah ini beberapa keutamaan barangsiapa yang cinta dan senang menghadiri majelis dzikir (khalaqah/lingkaran dzikir), yang kami himpun dari beberapa hadits diantarnya :

1. Majelis dzikir adalah laksana taman-taman syurga.
Diterima dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Jika kamu lewat ditaman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkrama ! Tanya mereka : Apakah itu taman-taman surga, ya Rasulullah ? Ujar Nabi SAW : Ialah lingkaran-lingkaran dzikir (halaqah dzikir), karena Allah Ta’ala mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya, mereka akan duduk mengelilinginya.”
2. Majelis yang dibanggakan oleh Allah SWT terhadap para malaikat-Nya.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Mu’awiyah katanya :
Rasulullah SAW pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, kemudian beliau bertanya : “Kenapa kamu duduk di sini?” Ujar mereka : “Maksud kami duduk di sini ialah untuk dzikir kepada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kami dengan menganut agama Islam.” Sabda Nabi SAW : “Demi Allah, tak salah sekali-kali ! Tuan-tuan duduk hanyalah untuk itu ! Dan saya tidaklah minta tuan-tuan bersumpah karena menaruh curiga kepada tuan-tuan, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah Ta’ala telah membanggakan tuan-tuan terhadap Malaikat.”
3. Majelis yang dikelilingi oleh para malaikat, diliputi rahmat, beroleh ketenangan dan akan disebut-sebut oleh Allah kepada siapa-siapa yang berada didekat-Nya.
Diriwayatkan oleh Muslim, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id Khudri ra dan Abu Hurairah ra bahwa mereka mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada suatu kaumpun yang duduk berdzikir kepada Allah Ta’ala kecuali mereka akan dikelilingi oleh Malaikat, akan diliputi rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah kepada siapa-siapa yang berada didekat-Nya.”
4. Majelis yang mana akan mendapat ampunan dari Allah SWT dan keburukan-keburukan akan diganti dengan berbagai kebaikan.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrany dari Sahl Ibnu Al-Hanzhaliyah ra, Nabi SAW bersabda :
“Tidaklah duduk suatu kaum pada suatu majelis, dimana mereka berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu (setelah selesai) mereka berdiri, melainkan dikatakan (oleh malaikat) kepada mereka ‘berdirilah kalian, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian dan keburukan-keburukan kalian pun telah diganti dengan berbagai kebaikan’ “.
5. Majelis yang paling mulia kelak di hari kiamat.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Sa’id al-Khudri ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “ Allah ‘Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat : ‘Semua golongan akan tahu siapakah golongan yang paling mulia’. Rasulullah SAW ditanya : ‘Siapakah golongan yang paling mulia itu Ya Rasulullah ? Beliaupun menjawab : ‘Golongan majelis-majelis dzikir’ “.
6. Orang yang mencintai majelis dzikir dengan rajin menghadirinya, ia akan disayangi oleh Allah SWT.
Diriwayatkan oleh Ahmad, dari Anas Ibnu Malik ra, Rasulullah SAW bersabda :
“Semoga Allah menyayangi Ibnu Rawalah, karena ia mencintai majelis dzikir yang mana para malaikat saling bermegah-megahan dengan majelis itu “.
7. Majelis yang akan mendapat ganjaran syurga.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah Ibnu ‘Amr ra, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Yaa Rasulullah, apakah ganjaran dari majelis dzikir ? Beliaupun menjawab : ’Ganjaran majelis dzikir adalah syurga’ “.
Dari keutamaan-keutamaan tersebut diatas yang berdasarkan dari beberapa hadits Rasulullah SAW, maka dapatlah memberikan gambaran dan dasar yang jelas kepada kita bahwa majelis dzikir adalah sunnah bukan bid’ah. Untuk itu mari kita hidupkan sunnah ini, kita semarakkan majelis dzikir yang merupakan taman syurga dengan naungan rahmat Allah ini, kemudian kita cintai dan selalu kita hadiri dengan penuh keikhlasan dan mengharap ridho-Nya.
Adapun pelaksanaan majelis dzikir dan doa bersama tersebut adalah sebagai berikut :
Dzikir dilaksanakan bersama-sama, dipimpin oleh seorang pemimpin dzikir. Jika jama’ahnya sedikit, dzikir dilaksanakan dengan cara melingkar (halaqah dzikir), dan jika jama’ahnya ramai dilaksanakan seperti barisan shaf shalat dan pemimpinnya berada di depan. Peserta yang mengikuti harus dalam keadaan suci (dalam keadaan berwudhu’). Dilaksanakan dengan hati khusyu’ dan tawadhu’.

Minggu, 23 Mei 2010

KH. Ibnu Hajar Sholeh Prenolo, Perintis Penghijauan Lahan Kritis Bukit Karst


Kesan tandus dan gersang selalu melekat dengan Kabupaten Gunung Kidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini tak mengherankan karena mayoritas kawasan itu terdiri dari perbukitan karst. Namun, suasana rimbun, hijau, dan teduhlah yang justru mendominasi beberapa bukit karst di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, itu.
Sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahwa bukit dari batuan kapur itu pun ternyata bisa di "sulap" menjadi hutan yang menyejukkan. Dengan kreasi sendiri, KH. Ibnu Hajar Sholeh Prenolo (beliau biasa di panggil Pak Ibnu) mulai membuat terasering di lahan kritis perbukitan karst tersebut.
Tidak ingin menikmati keberhasilan penghijauan itu seorang diri, Pak Ibnu, nama panggilannya, kemudian menularkan kreasi terasering karst buatannya kepada warga sekitar. Sebagai pemimpin Masjid Aolia, beliau juga getol mengajak jemaah untuk turut peduli lingkungan.
Awalnya, Pak Ibnu hanya mengeduk lapisan tipis tanah di bukit karst. Dia memunguti cuilan batu kapur untuk tanggul terasering. Untuk menambah lapisan tanah, Pak Ibnu mengumpulkan aneka sampah dedaunan maupun sampah rumah tangga yang kemudian ditimbun di antara tanggul.
Dari buah kerja kerasnya itu, pohon jati, pisang, melinjo, hingga talas hutan tumbuh subur. Tanah di bukit karst miliknya pun tidak lagi hanyut dibawa air hujan karena tertahan oleh tanggul. Sampah-sampah yang dia tanam juga berkembang menjadi kompos yang menyuburkan.
”Setiap kali ada pertemuan di masjid, saya pasti menyelipkan ajakan agar jemaah mau turut melakukan penghijauan di lahan kritis,” cerita Pak Ibnu sembari menunjukkan bukit-bukit karst yang menghijau, awal Mei 2008.
Sekarang, menurut Pak Ibnu, sudah terbentuk lima kelompok kerja untuk penghijauan lahan kritis di Pedukuhan Panggang III, Desa Giriharjo, Panggang. Setiap kelompok kerja terdiri dari 15 keluarga yang telah turut merintis pembuatan terasering di lingkungan masing-masing.
Upaya penghijauan lahan kritis tersebut biasanya terlebih dahulu dirembukkan di masjid bersama warga sebelum diimplementasikan di lahan yang kritis.
Pak Ibnu berharap pohon-pohon yang ditanamnya sejak tahun 1990 itu nanti bisa menyerap air sehingga dapat menyediakan mata air.
Bak penampungan
Dia tidak hanya menghijaukan lahan kritis, tetapi juga membuat bak penampungan air hujan di bagian bawah masjid serta kolam besar agar bisa mencukupi kebutuhan air untuk warga sekitarnya.
Bak penampungan air hujan itu dirasakan benar manfaatnya. Apalagi karena 17 telaga yang ada di Kecamatan Panggang itu biasanya mengering ketika memasuki musim kemarau.
Mendirikan Jemaah Aolia di Panggang sejak tahun 1982, setiap ada kesempatan Pak Ibnu selalu berusaha menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup kepada warga sekitar. Baginya, pengajaran agama tidak harus berkutat dalam hal rohani saja. Aplikasi dari keimanan kepada Tuhan itu juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu mencintai alam ciptaan-Nya.
”Kehidupan jemaah itu harus bisa menjadi berkah buat orang banyak,” tuturnya.
Penghijauan lahan kritis dia lakukan di atas bukit berbatu yang tidak bisa diolah menjadi lahan pertanian. Sebagian besar bukit karst di Gunung Kidul memang hanya ditanami pohon jati atau rumput, tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga tanah menjadi semakin tipis akibat aliran air hujan. Masalahnya, warga biasanya menanam pohon jati itu tanpa mengolah lahan sehingga tanah mengalami erosi.
Upaya penghijauan dengan cara terasering yang dilakukan Pak Ibnu dan warga setempat itu terbukti dapat mencegah erosi. Penghijauan itu dilakukan dengan penanaman 10.573 pohon jati di enam lokasi bukit karst di Kecamatan Panggang.
Budidaya ikan
Seusai meninggalkan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Pak Ibnu sempat bekerja di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Di tempat itu dia berjumpa dengan Warinah, seorang perawat, yang kemudian menjadi istrinya.
Tahun 1972 ia memutuskan tinggal di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Di tempat ini, selain bekerja sebagai petani, Pak Ibnu juga mendalami agama dan menjadi panutan warga setempat.
Berawal dari keprihatinan karena sulitnya mencari air, terutama saat musim kemarau,Pak Ibnu mulai mengajak warga membangun masjid pada tahun 1984, dengan penampungan air hujan tepat di bawah bangunan masjid. Selain berguna bagi pemenuhan kebutuhan warga, air tersebut ternyata juga menyejukkan suasana di dalam masjid.
Melihat manfaat air di penampungan masjid, Pak Ibnu kembali mengerahkan warga untuk membuat kolam besar dengan daya tampung 3.000 meter kubik, yang kini bisa mencukupi kebutuhan 17 keluarga selama musim kering.
Dari uji laboratorium teknik lingkungan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, air tampungan itu layak minum setelah direbus.
”Pembuatan bak tampungan air hujan secara massal yang ditanam di bawah tanah ini paling tepat untuk daerah kering seperti Gunung Kidul. Bak penampung air hujan milik pribadi biasanya mudah jebol dan mahal,” ujarnya.
Sebagian dari kolam dengan bentuk bersusun itu juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan tanaman hias. Ikan dipanen untuk kebutuhan warga sekitar, sedangkan tanaman hias dipasarkan hingga ke pasar swalayan.
Pembuatan bak penampungan air bawah tanah tersebut juga mulai ditiru oleh beberapa kelompok jemaah masjid di beberapa kecamatan di Gunung Kidul, seperti Tepus, Wonosari, dan Paliyan.
Pak Ibnu memang berharap penghijauan lahan karst dan pembuatan bak tampungan hujan itu bisa dan mau ditiru oleh warga di dusun lain. Sebab, manfaatnya memang sangat terasa.
Selain itu, pembuatan terasering dan penanaman pohon jati juga tidak membutuhkan perawatan rumit. Hanya butuh kemauan warga untuk mengubah lahan kritis menjadi lahan produktif. Di samping bermanfaat secara ekonomis, pembuatan terasering juga terbukti bisa mencegah erosi.
Tingginya kepeduliannya terhadap lingkungan mengantar Pak Ibnu meraih juara pertama sebagai perintis lingkungan hidup untuk tingkat Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu, dia juga terpilih sebagai juara pertama perintis lingkungan hidup tingkat Provinsi DI Yogyakarta.

Sabtu, 22 Mei 2010

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani



Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah,
(bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.


Masa Muda

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Murid-Murid

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya beliau, antara lain :

  1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  2. Futuhul Ghaib.

Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Beberapa Ajaran Beliau

Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.

Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.

Awal Kemasyhuran

Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].

Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Beberapa Kejadian Penting

Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.

Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.

Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”

Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.

Hubungan Guru dan Murid

Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

  1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
  2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
  3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
  4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
  5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
  6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.

Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwatkontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut. (

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Lain-Lain

Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.